BREAKING

Kamis, 19 Mei 2016

Jalan Penentu Eksistensi Salombengan Sedikit cerita tentang seko tengah

aksi masyarakat adat seko menolak PLTA
 Dialiri betue, dialiri uro. Terdapat tanah seko, kecil tapi indah,tanah itu ku cintalah selama hidup, tanah itu kucintalah selama hidup.
( hymne seko)

Sepenggal kalimat diatas adalah hymne seko, menurut masyarakat seko khususnya masyarakat seko tengah lagu itu wajib diperdengarkan dalam setiap acara atau kegiatan yang akan mereka lakukan. Lagu itu adalah roh atau semacam spirit dimana menurut mereka leluhur atau yang biasa mereka sebut sebagai dewata tondok selalu bersama mereka setiap saat. Lagu itupun yang membuat mereka senantiasa tidak pernah melupakan identitas asli mereka sebagai masyarakat seko.
Seko adalah sebuah wilayah yang terletak di daerah dataran tinggi tokalekaju, terletak di Provinsi Sulawesi-Selatan, Kabupaten Luwu Utara, Kecamatan Seko dengan ketinggian ±1560 meter dari permukaan laut. Menurut sebagian orang yang sempat saya temui nama wilayah seko berasal dari pemberian orang orang yang pernah melintasi wilayah tersebut kurang lebih 200 tahun lalu dan menjuluki wilayah tersebut dengan nama “SEKO” atau “SEKO_KI’[1] yang artinya teman atau kawan. Untuk wilayah seko sendiri masyarakat membaginya dalam 3 wilayah yaitu seko padang, seko tengah dan seko lemo. Sedangkan pemerintah membaginya dalam 13 Desa untuk keseluruhan Seko. Diantaranya adalah Desa Tana Makaleang, Desa Embo’na Tana, dan Desa Hoyane yang masuk dalam wilayah seko tengah atau disebut oleh masyarakat disana sebagai Wilayah Adat Pokapaang, Wilayah Adat Ambballong dan Wilayah Adat Hoyane.
Pada zaman orde lama seko menjadi satu distrik, disebut distrik seko. pada zaman orde baru dilebur menjadi satu kecamatan dengan distrik rongkong menjadi Kec. Rongkong-Seko. pada zaman revolusi modern sekarang ini, kembali menjadi satu wilayah pemerintah dengan nama Kecamatan Seko. Wilayah Seko, agraris dengan hasil utama, kopi arabica, kopi robusta, padi, jagung, akhir akhir ini (pertengan thn.90-an) menghasilkan coklat berkualitas eksport. disamping ternak kerbau dan hasil hutan berupa damar dan rotan.
Berbicara seko seperti berbicara tentang sebuah wilayah dalam alam imaji, tentang negeri yang subur, damai, dengan masyarakat yang hangat dan ramah dengan kehidupan sederhana. Serta alam yang selalu menjanjikan pemenuhan kebutuhan bagi setiap makhluk yang hidup di daerah tersebut.  Masyarakat sangat bergantung kepada alam begitupun alam sangat bergantung kepada masyarakat untuk menjaganya. Hubungan ini diikat oleh kehidupan masyarakat seko yang menjalani kehidupannya dengan aturan-aturan adat sebagai kristalisasi dari nilai nilai yang mereka bangun dari kesadaran mereka akan eksistensi kehidupan antara individu yang satu dengan yang lainnya ataukah antara mereka dengan alam yang dikenal dengan “Salombengan alusu’na Lino” yang artinya “kebersamaan atau persatuan hingga ke ujung bumi/dunia” sejak dahulu kala.
Menjelang akhir tahun 2014, tepatnya bulan September sebagian masyarakat di seko tengah resah. Bulldozer alat berat milik perusahaan yang belakangan diketahui adalah perusahaan PT SEKO POWER PRIMA/ASRI POWER mencengkram tanah seko.  Santer terdengar kabar oleh masyarakat jika perusahaan tersebut akan membangun PLTA dan memberikan masyarakat listrik. Katanya “biar Seko tak gelap lagi”. Ini awal negeri tenang dan damai itu dilanda keresahan dan ketakutan. Alih alih melakukan sosialisasi dengan masyarakat akan rencana pembangunan tersebut malah masyarakat yang ada di seko tengah merasa terintimidasi oleh pemerintah setempat yang pada waktu itu dipimpin oleh bapak Arifin Djunaedi yang menjabat sebagai Bupati Kab. Luwu Utara. Sebagian lahan persawahan dan kebun milik masyarakat rusak akibat gelindingan batu besar yang dibuang perusahaan untuk perluasan jalan mereka ke basecamp.
Seorang warga bernama Pak Andri resah bukan kepalang, beliau sempat mempertanyakan situasi ini ke sebagian tetua dan masyarakat  di sekitar wilayah seko tengah. Menurut tetua kampung kepada pak andri, situasi ini sudah diramalkan jauh hari sebelumnya. Jika akan datang satu masalah yang akan menimpa kampung. 
Oktober 2014, masyarakat seko tengah yang diwakili oleh pak andri dan pak wilton memulai musyawarah di dua desa di wilayah seko tengah. Yaitu di desa hoyane dan desa tana makaleang.  Mereka mulai membahas tentang rencana pembangunan yang akan masuk di kampung mereka yang sama sekali mereka tak tahu jelas seperti apa. Setelah menimbang dan memusyawarahkan secara bersama, mereka bersepakat untuk mencari informasi yang lebih rinci terkait masalah tersebut,  Inilah awal upaya mereka mulai menjaga kampung.
Dengan bekal hasil musyawarah kedua penggerak asal pokapaang ini akhirnya membuat surat resmi yang berupa pernyataan sikap ditujukan kepada Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Wil. Tana Luwu, disertai 518 tanda tangan masyarakat dari dua wilayah adat hoyane dan pokapaang. Isi surat menyatakan jika mereka menolak dengan tegas rencana pembangunan PLTA di wilayah adat mereka, dan meminta dukungan kepada seluruh pihak khususnya AMAN terkait hal tersebut. Bersama AMAN mereka mulai mengkonsolidasikan dan mengkampanyekan secara luas tentang situasi dan kondisi yang mereka alami di kampung. 
Bukan tanpa proses, PLTA bagi sebagian masyarakat di seko adalah angin segar untuk akses jalan ke kampung mereka yang sangat sulit untuk ditempuh. Kata pemerintah dan pihak perusahaan “ jika perusahaan ada, maka jalan akan bagus dan seko tidak lagi terpencil”. Pertanyaannya, kenapa harus menunggu perusahaan untuk memperbaiki jalan, kemana PAD, kemana Dana Bantuan Pemerintah pusat, atau kemana perginya kepedulian semua putra daerah untuk SEKO…?
Belum lagi tanggapan miring masyarakat tetangga diluar seko tengah, kata mereka “orang seko tengah harusnya menerima pembangunan biar ada listrik dan biar jalan bagus”. Seolah olah akses jalan khususnya daerah-daerah yang dilalui untuk ke seko adalah tanggung jawab orang seko tengah, sementara mereka harus mengorbankan  beras tarone, kopi, rotan, dammar dll bersama dengan satu kampung di seko tengah harus hilang untuk keperluan pembangunan PLTA.
Menurut orang seko tengah “ kenapa kehidupan kami harus diganggu, seolah olah kami harus dikorbankan dalam masalah ini, walaupun kami hanya orang kampung tapi kami juga ingin hidup dan jalani kehidupan yang tenang seperti orang lain”. Lanjut mereka “ kalau listrik kami memang butuh, tapi bukan kebutuhan dasar kami, kami masih bisa pakai turbin, hanya saja jalan memang harus diperbaiki, tapi apakah itu hanya jadi tanggung jawab kami”.
Jika lahan mereka diambil alih, siapa yang mau bertanggung jawab untuk kelangsungan kehidupan masyarakat di seko tengah yang berjumlah sekitar 4-5 ribu jiwa. Hitung-hitung ekonomi saja, mereka lebih banyak mendapat hasil dari olah sawah dan kebun ketimbang di iming-imingi kerja di perusahaan. Bekerja di perusahaan butuk kemampuan atau skill khusus di bidang mesin sementara masyarakat di seko tengah menyekolahkan anaknya kebanyakan keluaran guru, atau di bidang kesehatan. “ jika lahan habis, dan kami kerja di perusahaan, gaji kami harus dipakai beli beras yang sebelumnya kami tak usah beli, belum beli kopi yang tadinya lagi lagi kami bisa dapatkan dari kebun olahan kami sendiri, dll”.
Aksi penolakan mereka tersebut harus mereka bayar dengan Intimidasi dan ancaman yang terus datang bak mimpi buruk untuk kehidupan mereka. Kecaman dan cibiran dari berbagai pihak diluar mereka yang pro terhadap pembangunan PLTA tersebut menjadi makanan sehari hari.  Tetapi masyarakat tetap dengan keyakinan dan tekad mereka, jika kampung dalam bahaya dan harus dijaga. Seperti kasus yang terjadi pada pertengahan Oktober 2015, satu batalion brimob dari baebunta ikut mengawal pihak perusahaan untuk melanjutkan aktifitas perusahaan yang sempat terhenti karena masyarakat memblokir jalan perusahaan yang melewati kampung mereka.  “bukan tidak takut, tapi kami sudah bertekad jika darah harus tumpah hari ini. biarkan kami mati untuk kampung”. Masyarakat bertahan selama satu minggu lamanya menjaga blokir jalan.
9 desember 2015, terjadi pergantian pemerintahan di kab. Luwu utara. Bupati terpilih melihat konflik yang terjadi di seko khususnya seko tengah adalah konflik yang harus segera diselesaikan. Upaya yang dilakukan pemerintah yang baru untuk menyelesaikan konflik ini ditempuh dengan memberangkatkan perwakilan masyarakat seko untuk study banding ke wilayah sumatera untuk melihat PLTA Musi yang ada disana. Katanya” hal ini penting untuk masyarakat bisa lebih objektif melihat segala dampak yang akan terjadi. Baik atau buruknya sedapatnya masyarakat bisa memutuskan dengan bijaksana apakah pembangunan akan dilanjutkan atau diteruskan”.  Hasilnya, lagi-lagi masyarakat tetap dengan tegas MENOLAK.  Menurut Pak Daniel Rande “ disana saya sempat bertanya kepada pihak perusahaan, apakah sebelum ada PLTA dibangun apakah ada masyarakat hidup di daerah ini, jika ada bagaimana kehidupan mereka sekarang..? jawabnya TIDAK TAHU. Saya berkesimpulan jika memang perusahaan seperti ini tidak pernah tahu atau mungkin tidak mahu tahu tentang kehidupan masyarakat yang pernah tinggal di daerah ini. saya pun tak mahu jika kami harus bernasib sama dengan mereka yang pernah tinggal disini”. Dengan bekal pengetahuan mereka dari hasil study banding yang mereka ikuti menguatkan alasan mereka untuk tetap menolak pembangunan PLTA di wilayah mereka.
Embo’na tana makaleang, pusat tanah yang lain daripada yang lain, apapun bisa tumbuh dengan subur di wilayah ini, begitulah wilayah seko, bumi yang selalu memberikan pemenuhan kebutuhan hidup bagi semua makhluk yang hidup di daerah tersebut. Jangan coba membuat mereka pecah dengan iming-iming hal baru yang katanya akan membuat mereka lebih modern dibanding sekarang, dengan sejumlah uang yang membuat mereka lebih pengecut dari siapapun, dan membiarkan mereka seperti tikus yang mati di lumbung pangan. Jangan membuat mereka menjual segalanya untuk penerimaan sosial yang sebenarnya tak memberikan apa-apa untuk mereka.





[1] Cerita sejarah dari Masyarakat adat di wilayah seko tengah

About ""

AMAN Wil. Tana Luwu bertujuan untuk mempertahankan, mengembangkan dan memperjuangkan otonomi asli dengan nilai-nilai luhur dan penegakan hak-hak masyarakat adat di Tana Luwu yang harus diakui dan dihormati oleh masyarakat luas dan negara..
Comments
0 Comments

Posting Komentar

 
Copyright © 2013 AMAN TANA LUWU
Design by FBTemplates | BTT