aksi masyarakat adat seko menolak PLTA |
Dialiri betue, dialiri uro. Terdapat tanah
seko, kecil tapi indah,tanah
itu ku cintalah selama hidup, tanah itu kucintalah selama hidup.
(
hymne seko)
Sepenggal kalimat diatas adalah hymne seko, menurut masyarakat
seko khususnya masyarakat seko tengah lagu itu wajib diperdengarkan dalam
setiap acara atau kegiatan yang akan mereka lakukan. Lagu itu adalah roh atau semacam
spirit dimana menurut mereka leluhur atau yang biasa mereka sebut sebagai
dewata tondok selalu bersama mereka setiap saat. Lagu itupun yang membuat
mereka senantiasa tidak pernah melupakan identitas asli mereka sebagai
masyarakat seko.
Seko adalah sebuah wilayah yang terletak di daerah dataran tinggi tokalekaju,
terletak di Provinsi Sulawesi-Selatan, Kabupaten Luwu Utara, Kecamatan Seko
dengan ketinggian ±1560 meter dari permukaan laut. Menurut sebagian orang yang
sempat saya temui nama wilayah seko berasal dari pemberian orang orang yang
pernah melintasi wilayah tersebut kurang lebih 200 tahun lalu dan menjuluki
wilayah tersebut dengan nama “SEKO” atau “SEKO_KI’[1]
yang artinya teman atau kawan. Untuk wilayah seko sendiri masyarakat membaginya
dalam 3 wilayah yaitu seko padang, seko tengah dan seko lemo. Sedangkan
pemerintah membaginya dalam 13 Desa untuk keseluruhan Seko. Diantaranya adalah
Desa Tana Makaleang, Desa Embo’na Tana, dan Desa Hoyane yang masuk dalam
wilayah seko tengah atau disebut oleh masyarakat disana sebagai Wilayah Adat
Pokapaang, Wilayah Adat Ambballong dan Wilayah Adat Hoyane.
Pada
zaman orde lama seko menjadi satu distrik, disebut distrik seko. pada zaman orde
baru dilebur menjadi satu kecamatan dengan distrik rongkong menjadi Kec.
Rongkong-Seko. pada zaman revolusi modern sekarang ini, kembali menjadi satu
wilayah pemerintah dengan nama Kecamatan Seko. Wilayah Seko, agraris dengan
hasil utama, kopi arabica, kopi robusta, padi, jagung, akhir akhir ini
(pertengan thn.90-an) menghasilkan coklat berkualitas eksport. disamping ternak
kerbau dan hasil hutan berupa damar dan rotan.
Berbicara seko seperti berbicara tentang sebuah wilayah dalam alam
imaji, tentang negeri yang subur, damai, dengan masyarakat yang hangat dan
ramah dengan kehidupan sederhana. Serta alam yang selalu menjanjikan pemenuhan
kebutuhan bagi setiap makhluk yang hidup di daerah tersebut. Masyarakat sangat bergantung kepada alam
begitupun alam sangat bergantung kepada masyarakat untuk menjaganya. Hubungan
ini diikat oleh kehidupan masyarakat seko yang menjalani kehidupannya dengan
aturan-aturan adat sebagai kristalisasi dari nilai nilai yang mereka bangun
dari kesadaran mereka akan eksistensi kehidupan antara individu yang satu
dengan yang lainnya ataukah antara mereka dengan alam yang dikenal dengan
“Salombengan alusu’na Lino” yang artinya “kebersamaan atau persatuan hingga ke
ujung bumi/dunia” sejak dahulu kala.
Menjelang akhir tahun 2014, tepatnya bulan September sebagian
masyarakat di seko tengah resah. Bulldozer alat berat milik perusahaan yang
belakangan diketahui adalah perusahaan PT SEKO POWER PRIMA/ASRI POWER
mencengkram tanah seko. Santer terdengar
kabar oleh masyarakat jika perusahaan tersebut akan membangun PLTA dan
memberikan masyarakat listrik. Katanya “biar Seko tak gelap lagi”. Ini awal
negeri tenang dan damai itu dilanda keresahan dan ketakutan. Alih alih
melakukan sosialisasi dengan masyarakat akan rencana pembangunan tersebut malah
masyarakat yang ada di seko tengah merasa terintimidasi oleh pemerintah
setempat yang pada waktu itu dipimpin oleh bapak Arifin Djunaedi yang menjabat
sebagai Bupati Kab. Luwu Utara. Sebagian lahan persawahan dan kebun milik
masyarakat rusak akibat gelindingan batu besar yang dibuang perusahaan untuk
perluasan jalan mereka ke basecamp.
Seorang warga bernama Pak Andri resah bukan kepalang, beliau
sempat mempertanyakan situasi ini ke sebagian tetua dan masyarakat di sekitar wilayah seko tengah. Menurut tetua
kampung kepada pak andri, situasi ini sudah diramalkan jauh hari sebelumnya.
Jika akan datang satu masalah yang akan menimpa kampung.
Oktober 2014, masyarakat seko tengah yang diwakili oleh pak andri
dan pak wilton memulai musyawarah di dua desa di wilayah seko tengah. Yaitu di
desa hoyane dan desa tana makaleang.
Mereka mulai membahas tentang rencana pembangunan yang akan masuk di
kampung mereka yang sama sekali mereka tak tahu jelas seperti apa. Setelah
menimbang dan memusyawarahkan secara bersama, mereka bersepakat untuk mencari
informasi yang lebih rinci terkait masalah tersebut, Inilah awal upaya mereka mulai menjaga
kampung.
Dengan bekal hasil musyawarah kedua penggerak asal pokapaang ini
akhirnya membuat surat resmi yang berupa pernyataan sikap ditujukan kepada
Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Wil. Tana Luwu, disertai 518 tanda
tangan masyarakat dari dua wilayah adat hoyane dan pokapaang. Isi surat
menyatakan jika mereka menolak dengan tegas rencana pembangunan PLTA di wilayah
adat mereka, dan meminta dukungan kepada seluruh pihak khususnya AMAN terkait
hal tersebut. Bersama AMAN mereka mulai mengkonsolidasikan dan mengkampanyekan
secara luas tentang situasi dan kondisi yang mereka alami di kampung.
Bukan tanpa proses, PLTA bagi sebagian masyarakat di seko adalah
angin segar untuk akses jalan ke kampung mereka yang sangat sulit untuk
ditempuh. Kata pemerintah dan pihak perusahaan “ jika perusahaan ada, maka
jalan akan bagus dan seko tidak lagi terpencil”. Pertanyaannya, kenapa harus
menunggu perusahaan untuk memperbaiki jalan, kemana PAD, kemana Dana Bantuan
Pemerintah pusat, atau kemana perginya kepedulian semua putra daerah untuk
SEKO…?
Belum lagi tanggapan miring masyarakat tetangga diluar seko
tengah, kata mereka “orang seko tengah harusnya menerima pembangunan biar ada
listrik dan biar jalan bagus”. Seolah olah akses jalan khususnya daerah-daerah
yang dilalui untuk ke seko adalah tanggung jawab orang seko tengah, sementara
mereka harus mengorbankan beras tarone,
kopi, rotan, dammar dll bersama dengan satu kampung di seko tengah harus hilang
untuk keperluan pembangunan PLTA.
Menurut orang seko tengah “ kenapa kehidupan kami harus diganggu,
seolah olah kami harus dikorbankan dalam masalah ini, walaupun kami hanya orang
kampung tapi kami juga ingin hidup dan jalani kehidupan yang tenang seperti
orang lain”. Lanjut mereka “ kalau listrik kami memang butuh, tapi bukan
kebutuhan dasar kami, kami masih bisa pakai turbin, hanya saja jalan memang
harus diperbaiki, tapi apakah itu hanya jadi tanggung jawab kami”.
Jika lahan mereka diambil alih, siapa yang mau bertanggung jawab
untuk kelangsungan kehidupan masyarakat di seko tengah yang berjumlah sekitar
4-5 ribu jiwa. Hitung-hitung ekonomi saja, mereka lebih banyak mendapat hasil
dari olah sawah dan kebun ketimbang di iming-imingi kerja di perusahaan.
Bekerja di perusahaan butuk kemampuan atau skill khusus di bidang mesin
sementara masyarakat di seko tengah menyekolahkan anaknya kebanyakan keluaran
guru, atau di bidang kesehatan. “ jika lahan habis, dan kami kerja di
perusahaan, gaji kami harus dipakai beli beras yang sebelumnya kami tak usah
beli, belum beli kopi yang tadinya lagi lagi kami bisa dapatkan dari kebun
olahan kami sendiri, dll”.
Aksi penolakan mereka tersebut harus mereka bayar dengan Intimidasi
dan ancaman yang terus datang bak mimpi buruk untuk kehidupan mereka. Kecaman
dan cibiran dari berbagai pihak diluar mereka yang pro terhadap pembangunan
PLTA tersebut menjadi makanan sehari hari. Tetapi masyarakat tetap dengan keyakinan dan
tekad mereka, jika kampung dalam bahaya dan harus dijaga. Seperti kasus yang
terjadi pada pertengahan Oktober 2015, satu batalion brimob dari baebunta ikut
mengawal pihak perusahaan untuk melanjutkan aktifitas perusahaan yang sempat
terhenti karena masyarakat memblokir jalan perusahaan yang melewati kampung
mereka. “bukan tidak takut, tapi kami
sudah bertekad jika darah harus tumpah hari ini. biarkan kami mati untuk
kampung”. Masyarakat bertahan selama satu minggu lamanya menjaga blokir jalan.
9 desember 2015, terjadi pergantian pemerintahan di kab. Luwu
utara. Bupati terpilih melihat konflik yang terjadi di seko khususnya seko
tengah adalah konflik yang harus segera diselesaikan. Upaya yang dilakukan
pemerintah yang baru untuk menyelesaikan konflik ini ditempuh dengan
memberangkatkan perwakilan masyarakat seko untuk study banding ke wilayah
sumatera untuk melihat PLTA Musi yang ada disana. Katanya” hal ini penting untuk
masyarakat bisa lebih objektif melihat segala dampak yang akan terjadi. Baik
atau buruknya sedapatnya masyarakat bisa memutuskan dengan bijaksana apakah
pembangunan akan dilanjutkan atau diteruskan”. Hasilnya, lagi-lagi masyarakat tetap dengan
tegas MENOLAK. Menurut Pak Daniel Rande
“ disana saya sempat bertanya kepada pihak perusahaan, apakah sebelum ada PLTA
dibangun apakah ada masyarakat hidup di daerah ini, jika ada bagaimana
kehidupan mereka sekarang..? jawabnya TIDAK TAHU. Saya berkesimpulan jika
memang perusahaan seperti ini tidak pernah tahu atau mungkin tidak mahu tahu
tentang kehidupan masyarakat yang pernah tinggal di daerah ini. saya pun tak
mahu jika kami harus bernasib sama dengan mereka yang pernah tinggal disini”.
Dengan bekal pengetahuan mereka dari hasil study banding yang mereka ikuti
menguatkan alasan mereka untuk tetap menolak pembangunan PLTA di wilayah
mereka.
Embo’na tana makaleang, pusat tanah yang lain daripada yang lain,
apapun bisa tumbuh dengan subur di wilayah ini, begitulah wilayah seko, bumi
yang selalu memberikan pemenuhan kebutuhan hidup bagi semua makhluk yang hidup
di daerah tersebut. Jangan coba membuat mereka pecah dengan iming-iming hal
baru yang katanya akan membuat mereka lebih modern dibanding sekarang, dengan
sejumlah uang yang membuat mereka lebih pengecut dari siapapun, dan membiarkan
mereka seperti tikus yang mati di lumbung pangan. Jangan membuat mereka menjual
segalanya untuk penerimaan sosial yang sebenarnya tak memberikan apa-apa untuk
mereka.